Nilai budaya betawi dalam sinetron Si Doel

Gambaran Budaya Betawi dalam Sinetron Si Doel Anak Sekolahan

Dewasa ini, media massa di Indonesia semakin berkembang, baik dalam hal teknologi, kualitas maupun kuantitasnya. Seiring semakin bertambahnya kuantitas media massa tersebut, maka karya-karya kreatif yang dihasilkan pun akan semakin bertambah. Salah satu fungsi dari media massa adalah sebagai media untuk sosialisasi atau transmisi, maksud dari hal tersebut yaitu produk dari media massa yang dikonsumsi oleh masyarakat dapat menstransmisikan nilai-nilai sosial dan budaya yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Dan salah satu media massa yang cukup banyak menarik minat masyarakat untuk dikonsumsi adalah media massa elektronik audio visual, yaitu televisi. Tidak dapat dipungkiri bahwa televisi merupakan media massa paling populer dan paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, dibandingkan dengan media massa lainnya.
Salah satu produk televisi Indonesia yang menjadi andalan adalah sinetron. Saat ini, di Indonesia hampir seluruh stasiun televisi swasta nasional menjadikan sinetron sebagai program andalan mereka. Dan salah satu sinetron Indonesia yang menjadi primadona pada masanya adalah sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Sinetron ini mendapat apresiasi yang sangat positif di masyarakat. Pembangunan karakter, alur cerita yang realistis, kualitas para pemain dan krunya menjadi suatu kekuatan tersendiri dalam sinetron tersebut. Selain itu, kisah yang digambarkan dalam sinetron ini pun sangat menarik dan membangun, penanaman nilai-nilai sosial budaya yang digambarkan melalui peran setiap tokoh berkontribusi positif untuk membentuk kepribadian masyarakat yang menonton sinetron ini.
Sinetron Si Doel Anak Sekolahan menjadi sebuah entertainment yang sarat akan gambaran tentang kebudayaan betawi di era modern. Dimulai dari lagu pembuka Sinetron Si Doel yang didalam liriknya bercerita tentang orang Betawi. Dengan hanya mendengar syair itu saja, orang yang tidak menonton atau belum pernah menonton sinetron Si Doel Anak Sekolahan dapat mengetahui bahwa sinetron itu bercerita tentang orang Betawi. Syair tersebut juga menjelaskan kalau orang Betawi dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan itu tidak mempunyai sifat seperti yang telah menjadi anggapan umum mengenai orang  Betawi, yaitu ketinggalan jaman, banyak tingkah, dan sebagainya. Dalam syair itu disebutkan bahwa orang Betawi dalam sinetron tersebut bersifat positif, seperti rajin sembahyang, mengaji, dan rajin menuntut ilmu. Secara tidak langsung syair itu mengubah pandangan masyarakat umum mengenai sifat orang Betawi yang selama ini dianggap kurang baik atau telah dicap bersifat negatif.
Dalam Sinetron Si Doel Anak Sekolahan dapat dilihat beberapa hal yang menyebabkan sinetron tersebut dianggap sebagai sinetron yang bercerita tentang budaya Betawi. Di setiap episode Sinetron Si Doel Anak Sekolahan tersebut tampak beberapa unsur budaya Betawi, seperti sistem bahasa, sistem ilmu pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kepercayaan serta sistem kesenian. Dalam sistem bahasa, di sinetron Si Doel Anak Sekolahan tampak keluarga Doel bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Betawi. Hal itu bisa dilihat dari bentuk bahasa dan dialek yang digunakan. Keluarga Doel tidak hanya menggunakan bahasa Betawi sebagai bahasa percakapan dengan keluarga, namun juga dengan masyarakat di lingkungan mereka. Kerasnya suara sebagian besar anggota Doel seperti Babe, Mandra, Atun dan Nyak sesuai dengan logat orang Betawi pinggir.
Dalam sistem pengetahuan, di episode pertama sinetron ini diperlihatkan Doel yang tengah bersiap-siap pergi ke kampusnya. Dari situ dapat diketahui bahwa Doel merupakan seorang mahasiswa yang tengah mendapat pendidikan di sebuah perguruan tinggi. Dari beberapa dialog dan adegan yang ditampilkan pun dapat diketahui bahwa Doel adalah anak yang pandai dan dia menjadi asisten di kampusnya. Doel yang anak Betawi itu digambarkan sebentar lagi akan menamatkan pendidikannya di perguruan tinggi serta akan meraih gelar insinyur. Babe pun sangat mendorong Doel agar dapat menyelesaikan sekolahnya dan supaya bisa menjadi “orang”.
Sementara itu, Babe si Doel (Sabeni), dalam satu dialog di episode pertama, mengaku dirinya hanya tamat sekolah rakyat (sekolah dasar pada jaman dahulu). Sedangkan Mandra (paman Doel) buta huruf karena ia tidak pernah mengecap pendidikan di sekolah formal. Sementara itu, Atun (adik Doel) hanya lulusan SD dan tidak melanjutkan sekolahnya karena keadaan ekonomi. Terdapat perbedaan yang cukup kontras antara Doel dengan bapak, adik dan pamannya dalam hal memperoleh pendidikan, hal tersebut pun menunjukan bahwa terdapat dua generasi yang berbeda dalam hal pendidikan dalam keluarga Doel. Pada kenyataannya, dalam masyarakat Betawi memang masih terdapat sikap atau pandangan yang menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting. Namun seiring dengan perkembangan jaman dan lingkungan tempat tinggal mereka, pandangan terhadap pendidikan formal pun mulai berubah.
Sebagian orang Betawi pun tampak mulai menyadari pentingnya pendidikan, terutama untuk mengembangkan diri dan bertahan dalam menghadapi persaingan hidup. Dalam hal ini, Babe Doel termasuk golongan orang Betawi yang mulai sadar akan arti pentingnya pendidikan. Selain dalam sistem bahasa dan ilmu pengetahuan, sinetron ini juga menggambarkan kebudayaan orang Betawi dalam sistem organisasi sosial. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan Atun (adik Doel) sehari-hari yaitu pergi belanja kebutuhan sehari-hari di pasar. Hal tersebut sesuai dengan anggapan masyarakat Betawi pada umumnya yang menganggap bahwa anak perempuan tidak dituntut untuk sekolah tinggi. Atun yang anak perempuan di dalam keluarga harus mengalah dari anak laki-laki, sebab pendidikan untuk anak laki-laki lebih diutamakan dibandingkan untuk anak perempuan.
Dalam sistem peralatan hidup dan teknologi, di dalam setiap episode sinetron ini, sistem peralatan hidup dan teknologi Betawi dapat dilihat terutama pada rumah dan pakaian keluarga Doel. Dalam sinetron ini, dapat dikatakan bahwa rumah Doel adalah rumah khas Betawi yang termasuk rumah jenis Bapang. Rumah Doel pun mempunyai halaman yang luas, ruang depan rumah keluarga Doel merupakan serambi dan di salah satu sisinya terdapat balai-balai yang sering digunakan Babe untuk beristirahat sambil minum kopi. Ruang tengah berisi kamar makan dan kamar-kamar tidur, di ruang belakang rumah merupakan dapur, dan di halaman belakang terdapat kamar mandi kecil. Selain itu, dalam hal pakaian, dalam sinetron ini pakaian sehari-hari yang digunakan Babe dirumah terdiri dari kaos oblong, sarung dilengkapi kopiah dan ikat pinggang yang sangat mencerminkan pakaian khas Betawi.
Sedangkan pakaian Nyak sehari-hari, baik saat menjaga warung maupun saat mengurus rumah adalah kebaya panjang dengan kain. Untuk bepergian atau menghadiri acara-acara tertentu, Nyak melengkapi dengan kerudung dan selop. Pakaian Doel sehari-hari dirumah adalah kaos oblong dan kain atau celana panjang. Untuk ke kampus, Doel mengenakan t-shirt atau kemeja dan celana blue jean. Pakaian atun sehari-hari adalah kaos atau t-shirt dan rok atau celana pendek. Dan pakaian Mandra sehari-hari adalah t-shirt atau kaos oblong dan celana blue jean. Dengan demikian dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan ini dapat dilihat bahwa terjadi pergeseran dalam hal pakaian. Generasi yang lebih tua yang dalam hal ini diwakili oleh Nyak, Babe, Engkong masih tetap bertahan dengan cara berpakaian tradisional, sedangkan generasi yang lebih muda yaitu Doel, Atun dan Mandra sudah dapat menentukan sendiri pakaian apa yang digunakan. Pakaian tradisional dalam masyarakat Betawi, yaitu kebaya panjang dan kain sudah tergeser kedudukannya dari pakaian sehari-hari menjadi pakaian untuk acara formal. Dalam hal ini pihak pembuat sinetron melihat dan menampilkan pergeseran tersebut melalui sudut pandang mereka yang diolah dalam sinetron ini.
Dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan ini diperlihatkan bahwa mata pencaharian Babe adalah supir oplet dan setiap hari Babe menjalankan pekerjaannya dengan ditemani oleh Mandra sebagai keneknya. Di sore hari atau di waktu senggangnya, Doel menggantikan Babe menarik oplet. Selain dari penghasilan Babe sebagai supir oplet, keluarga Doel juga memperoleh penghasilan dari warung Nyak yang menjual kebutuhan sehari-hari. Keluarga Doel juga menyewakan rumahnya kepada pendatang dari luar daerah Jakarta, yaitu Karyo yang berasal dari Jawa. Sementara itu, dalam hal sistem religi atau kepercayaan, keluarga si Doel digambarkan sebagai penganut agama Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa adegan dan percakapan yang mengandung unsur agama Islam. Sebagai contohnya, Babe yang sangat memperhatikan waktu sholat dan keluarga Doel yang selalu mengucapkan Alhamdulillah sebagai tanda bersyukur atas berkah dan keselamatan yang mereka dapatkan.
Pada kenyataannya, orang Betawi memang dikenal sebagai penganut Islam yang kuat. Bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada orang Betawi yang menganut agama selain Islam dan Islam sangat kuat menyatu dalam kehidupan orang Betawi. Nilai-nilai agama Islam pun sangat mempengaruhi nilai-nilai budaya betawi lainnya. Dan dalam sistem kesenian, dalam sinetron ini bentuk kesenian Betawi contohya tampak pada episode 4 dan episode 6. Pada episode 4 diperlihatkan seni bela diri Pencak Silat sebagai salah satu bentuk sistem kesenian Betawi. Dalam episode tersebut, diperlihatkan Doel dan para pemuda kampug lainnya sedang berlatih pencak silat di halaman rumah engkong. Pada episode 6, kesenian betawi tampak pada acara pelepasan keberangkatan keluarga Doel untuk menghadiri wisuda Doel. Mereka diiringi oleh tabuhan rebana disertai lantunan shalawat kepada Rasulullah SAW. Selain itu juga disertai dengan bunyi letusan petasan khas kesenian Betawi saat merayakan acara-acara penting seperti acara wisuda,khitanan dan pernikahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Maritime Irony

Terorisme di Indonesia: sebuah analisis

Pupujian dalam tradisi Sunda