Terorisme di Indonesia: sebuah analisis


UNIVERSITAS INDONESIA



PERKEMBANGAN DAN PERDEBATAN ISU HAK ASASI MANUSIA
TERORISME DI INDONESIA : SEBUAH ANALISIS

Disusun Oleh :

Opa Sari







FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tindak pidana terorisme adalah extra ordinary crime karena extra ordinary crime adalah pelanggaran berat HAM yang meliputi crime againts humanity dan goside (sesuai dengan Statuta Roma). Tindak pidana terorisme dimasukkan dalam extra ordinary crime dengan alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional.Pelanggaran HAM berat dapat masuk dalam kategori sebagai extra ordinary crime jika sesuai dengan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan biasanya dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan alasan bahwa kejahatan tersebut sangat bertentangan dan mencederai rasa kemanusiaan secara mendalam (dan dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan).
Tindak teror dimasukan dalam extra ordinary crime dengan alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional. Fakta menunjukkan bahwa memang tindak pidana teror (lebih banyak) merupakan tindak pidana yang melibatkan jaringan internasional, namun kesulitan pengungkapan bukan karena perbuatannya ataupun sifat internasionalnya. Tetapi meskipun terorisme dianggap sebagai extraordinary crime dan crime against humanity, terorisme bukan merupakan tindak pidana dalam yuridiksi International Criminal Court (ICC).
Sebenarnya terorisme merupakan perbuatan yang semula dikategorikan sebagai crime againt state sekarang meliputi terhadap perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai crime againt humanity di mana yang menjadi korban adalah masyarakat yang tidak berdosa, semuanya dilakukan dengan delik kekerasan (kekerasan sebagai tujuan), kekerasan (violence) dan ancaman kekerasan (threat of violence). Adanya suatu feeling for fear atau intimidating to public and governmental yang tujuan akhirnya adalah berkaitan dengan delik politik, yaitu melakukan perubahan sistem politik yang berlaku dalam suatu negara. Dampak yang demikian luas akibat tindakan terorisme, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk melindungi warganegara dan kepentingan negara dengan membuat rambu-rambu hukum nasional, salah satu cara dengan meratifikasi perkembangan hukum international tentang penanggulangan tindakan terorisme.

Rumusan Permasalahan
Bagaimana awal proses berkembangnya tindakan terorisme di Indonesia?
Bagaimana HAM memandang tindakan terorisme di Indonesia?
Bagaimana Hukum internasional dan negara mengatur permasalahan Terorisme?

1.3 Kerangka Konseptual
1.3.1 Pengertian Terorisme

Makna terorisme mengalami pergeseran dan perluasan paradigma Istilah "terorisme" umumnya berkonotasi negatif, seperti juga istilah "genosida" atau "tirani". Istilah ini rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang penyalahgunaan. Tetapi pendefinisian juga tak lepas dari keputusan politis. Menurut Budi Hardiman (2002:1) Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti,mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai "teror" atau "terorisme". Tindakan teror bisa dilakukan oleh negara, individu atau sekelompok individu, dan organisasi. Pelaku biasanya merupakan bagian dari suatu organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau cita-cita religius tertentu yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang/kelompok yang mempunyai keyakinan tertentu.
Definisi terorisme dari T. P. Thornton merupakan tindakan yang dengan sengaja menimbulkan ketakutan, biasanya dengan menggunakan ancaman simbolik dan kekerasan fisik, untuk mempengaruhi tingkah laku politik dari suatu target atau kelompok tertentu. Thornton menggarisbawahi beberapa fenomena, diantaranya: kualitas kekerasan dari kebanyakan tindakan teroris  yang harus dibedakan dari bentuk propaganda non-kekerasan lainnya, seperti demonstrasi. Namun walaupun orang mengalami ketakutan dan khawatir tanpa adanya bahaya fisik yang hadir, ini muncul menjadi hal kendaraan umum untuk membujuk teror dalam kekerasan fisik. Fenomena lainnya adalah kekerasan itu sendiri, yang disebut Thornton sebagai ‘extra normal’ yang artinya pada level tertentu kekerasan politik yang terorganisasi disebut terorisme, maka kekerasan ini berada diluar norma hasutan kekerasan politik yang diterima oleh kelompok masyarakat tertentu.
Fenomena terakhir adalah karakter simbolik dari kekerasan dan tindakan, Tindakan teror akan mengandung makna yang luas dari pada efek yang segera dari tindakan itu sendiri. Kematian, kerusakan,d an luka-luka yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut memiliki relevansi yang terbatas terhadap pesan politik dimana teroris berharap untuk berkomunikasi. Untuk alasan ini tindakan teroris hanya dapat dimengerti dengan mengapresiasi isi makna simbol dan pesannya.
Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.  Sedangkan menurut US Department of Defense tahun 1990, ”Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau idiologi” (Paulus, 2007).

1.3.2 Motif Terorisme
Terorisme dengan segala bentuk kekerasannya seringkali diklaim oleh pelaku teror sebagai solusi alternatif dalam memecahkan kebuntuan masalah, terutama setelah upaya pendekatan reguler seperti perundingan damai maupun peperangan (konvensional) mengalami kegagalan/kebuntuan. Motif terjadinya teror yang terjadi selama ini baik yang berskala internasional maupun nasional, biasanya ingin membebaskan tanah air mereka yang dianggap memiliki sumber daya yang dimanfaatkan banyak negara lain. Selain itu motif terorisme bisa saja karena ingin melawan pemerintahan yang sah akibat keinginan kelompok teror ini tidak terpenuhi. Kemudian aksi teror bisa juga dilakukan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya yang kemudian dengan harapan dapat mendominasi negara tersebut. Selain itu, aksi teror juga dilakukan karena ingin menerapkan ideologi dari salah satu pihak dan biasanya hal ini terjadi karena konflik sekte-sekte agama.



























BAB 2
ANALISIS

2.1 Terorisme di Indonesia

Teror, teroris atau terorisme adalah rangkaian kata yang saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan, tak terkecuali bagi pemerintah Indonesia. Aktivitasnya tidak hanya terkait dengan perlawanan suatu kelompok terhadap negara untuk memperjuangkan kepentingan politik dan ideologi tertentu, tetapi berkembang jauh yang tidak hanya bersinggungan dengan ranah politik, tetapi telah menjangkau kedalam ranah yang lebih luas yaitu ekonomi, social budaya maupun agama. Terorisme memiliki pengaruh kuat terhadap masyarakat, terutama jika dipublikasikan secara ekstrem oleh media cetak atau elektronik.
Aksi kerusuhan tertentu sangat menarik dalam penayangan televisi. Apabila dengan siaran langsung dari tempat kejadian, jutaan pemirsa ikut mendengarkan, bahkan melihat teroris mengajukan tuntutan atau bereaksi. Aksi teroris modern berbeda dengan masa lalu, banyak masyarakat tak berdosa ikut menjadi korban. Aksi teroris selalu mengikuti perubahan zaman. Beberapa negara di dunia menyatakan diri perang melawan terorisme, tetapi terorisme tetap hidup dan ancamannya semakin menakutkan.
Secara historis kegiatan terorisme internasional di Indonesia berkembang dengan diketemukannya indikasi adanya kerjasama antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan kelompok radikal seperti Abu Sayaf Group (ASG) Libya, dan Taliban. Pada akhirnya di Indonesia kasus peledakan bom terjadi pada peledakan Atrium Mall Pasar Senen Jakarta, kediaman Duta Besar Philipina di Jakarta, Bursa Efek Jakarta, bengkel mobil di Bandung, beberapa Gereja antara lain Gereja Santa Anna, Gereja HKGB di Jakarta, Gereja Katholik di Batam, Riau, Gereja Kristus Raja di Mojokerto Jatim dan tragedi Bali 12 Oktober 2002 tepatnya di Sari Club dan Paddy's cafd di jalan Legian serta di daerah Renon Denpasar dekat dengan Konsul Amerika Serikat.
Setelah serangkaian kejadian tersebut kasus peledakan bom juga terjadi di beberapa tempat seperti di Wisma Bhayangkara Mabes Polri, peledakan Mc Donald's di Makasar Sulsel dan terakhir peledakan Cafd shop di bandara Soekarno - Hatta Jakarta, Gedung DPR-MPR di Jakarta dan di depan pintu masuk Hotel J. W. Marriot pada tanggal 5 Agustus 2003, ledakan bom di depan kantor Kedutaan Besar Australia di Kuningan Jakarta. Dari kejadian tersebut di atas isu terorisme menjadi isu utama di Indonesia. Terorisme menjadi suatu ancaman yang serius bagi setiap negara dikarenakan kejahatan ini berdampak sedemikian luas pada masyarakat maupun pada kelangsungan hidup suatu bangsa dan juga menimbulkan korban jiwa yang banyak dan korban materil yang besar. Berdasarkan kesepakatan bersama negara-negara ASEAN lainnya dalam SOMTC (Senior official meeting on transnational crime) tanggal 9 sampai dengan 10 Oktober 2001 di Singapura, Indonesia ikut dalam menetapkan kejahatan-kejahatan yang bersifat Transnational Crime yaitu:
(a) Illicit Drug Trafficking (Perdagangan Illegal narkotika dan psikotropika).
(b) Money Laundering (Pencucian uang).
(c) Terrorism (Terorisme).
(c) Arms Smuggling (Penyelundupan senjata api).
(d) Trafficking in Persons (Perdagangan manusia).
(e) Sea Piracy (Pembajakan di laut).
(f) Cyber Crime (Kejahatan komputer).
(g) International Economic Crime (Kejahatan Ekonomi Internasional).

Dalam SAARC Regional convention on Suppression of Terrorisme (1988) kejahatan terorisme bahkan dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dapat menimbulkan dampak yang dapat merugikan terhadap perdamaian, kerjasama, persahabatan dan hubungan bertetangga baik dan dapat mencederai kedaulatan dan integritas suatu negara. Aksi terorisme di Indnesia rupanya telah membuat kawasan regional merasa khawatir dan membuat perlawanan keras terhadap penyebaran aksi teroris di kawasan tersebut. Pencarian tindak terorisme di Indonesia yang selama 3 tahun terakhir tercatat sebanyak 15 kasus penting terorisme, wilayah dan target terorisme di Indonesia saat ini sudah meluas kepada kepentingan domestik dan internasional.

2.2 Perkembangan Isu Terorisme dalam Perspektif Realisme

Penulis menggunakan kerangka berpikir dalam perspektif realisme untuk menganalisis masalah terorisme di Indonesia. Realisme merupakan suatu perspektif yang melihat permasalahan dengan sudut pandang negara sebagai aktor utama yang memiliki kekuatan besar dalam memutuskan segala kebijakan demi kepentingan negara tersebut. Negara (state) sekaligus memiliki peran untuk menekan pada hubungan antarnegara. Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai peran yang bersifat tunggal dan rasional.
Realisme dapat dikategorikan manjadi tiga, berdasarkan intensitas dalam menjalankan komitmen terhadap nilai-nilai pokok realisme. Pertama, realisme radikal yang hanya fokus pada power dan kepentingan pribadi dalam politik internasional.Kedua, realisme yang kuat yang menekankan pada dominasi power, kepentingan pribadi, konflik antar negara. Sedangkan yang terakhir realisme lemah masih memperhitungkan aspek lain yang penting (selain power dan interest) dalam politik internasional.
Secara umum, pandangan yang digunakan untuk melihat negara dalam hubungan internasional adalah :
Negara selalu memiliki kepentingan yang berbenturan.
Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau konflik.
Kekuatan yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik,dn menentukan pengaruh atas negara lain.
Politik didefinisikan sebagai memperluas, mempertahankan, dan menunjukkan kekuatan.
Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan.
Perdamaian akan tercapai jika sudah ada perimbangan kekuatan sehingga tidak ada dominasi dalam tatanan dunia internasional.
Setiap negara akan bergerak demi mencapai kepentingan nasionalnya.

2.3 Tinjauan Realisme Terhadap Isu Terorisme
Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Aksi teroris modern berbeda dengan masa lalu, banyak masyarakat tak berdosa ikut menjadi korban. Aksi teroris selalu mengikuti perubahan zaman, ini menunjukkan bahwa pencegahan dan penanggulangan terorisme yang tidak berhasil ditangani secara efektif akan makin meningkat intensitas dan frekwensinya semakin maju pengetahuan pelaku dan semakin modern teknologi yang digunakan semakin sulit di deteksi secara dini dan  di ungkap siapa pelakunya. Menurut pandangan realis, mengapa teroris mau menjadikan Indonesia sebagai negara sasaran untuk melakukan aksinya “karena masih lemahnya payung hukum, rendahnya kualitas sumber daya manusia dan suburnya tingkat kemiskinan” (Media Indonesia, 2005). Ditambah dengan “terbatasnya kualitas dan kapasitas intelejen negara”.
Dari kelemahan-kelemahan tersebut di atas maka Indonesia merupakan tempat yang paling mudah untuk dijadikan tempat aksi kejahatan terorisme sehingga Indonesia yang dililit banyak masalah menjadi amat menderita atas kejahatan terorisme tersebut, kondisi tersebut di atas merupakan pelajaran yang harus dipecahkan dan diselesaikan bersama antara penyelenggara negara, elit politik dan di dukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Terorisme sebuah fenomena yang mengganggu. Aksi terorisme seringkali melibatkan beberapa negara. Sponsor internasional yang sesungguhnya adalah negara besar. Harus dipahami bahwa terorisme sekarang telah mendunia dan tidak memandang garis perbatasan internasional. Pilihan melalui jalan kekerasan ini dianggap sebagai ideologi dan kewajiban sehingga harus dilakukan sampai terwujudnya perubahan tersebut. Dengan kata lain, aksi terorisme dapat dilihat sebagai reaksi terhadap tata dunia yang timpang.
Dalam statistik data yang ada mengenai sejumlah perang dalam kategori assimetris, dimana tidak terjadi perimbangan kapabilitas dua aktor secara signifikan, dikatakan pihak yang lebih lemah (weak actors) lebih memiliki kesempatan kemenangan yang lebih baik disaat pihak tersebut hanya melakukan upaya strategis berlawanan dengan apa yang diupayakan oleh strong actor. Hal ini menunjukkan bahwa, aksi terorisme telah berhasil menyampaikan tujuannya kepada dunia internasional.

2.4 Konvensi Internasional yang Mengatur Tentang Terorisme

Pengaturan kontra terorisme adalah pemberantasan, pengungkapan, dan penanganan kasus tindak pidana teror dan pelaku teror (terorist). Pengaturan ini berupa penetapan tindakan-tindakan yang termasuk dalam tindak pidana teror, prosedur penanganan (penyelidikan, penyidikan, dan peradilan) serta sanksi yang diterapkan. Saat ini telah ada beberapa konvensi internasional dan regional yang mengatur tentang
tindak pidana teror, yaitu:
(a) International Civil Aviation Organization, Covention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft. Ditanda-tangani di Tokyo tanggal 14 September 1963 dan mulai berlaku tanggal 4 Desember 1969.
(b) International Civil Aviation Organization, Convention for the suppression of Unlawful Seizure of Aircraft. Ditandatangani di Hague tanggal 16 Desember 1970 dan mulai berlaku tanggal 14 Oktober 1971.
(c) International Civil Aviation Organization, Convention for the Suppression of Unlawful Act against the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 23 September 1971 dan mulai berlaku tanggal 26 Januari 1973.
(d) United Nation, Convention on the Prevention and Punish ment of Crimes against Internationally Protected Persons, in cluding Diplomatic Agents. Diterima oleh Majelis Umum pidana dengan Resolusi 3166 (XXVIII) tanggal 14 Desember 1973 dan mulai berlaku tangga120 Februari 1977.
(e) United Nation, International Convention against the Taking of Hostages. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 34/46 tanggal 17 Desember 1979 dan mulai berlaku tanggal3 Juni 1983.
(f) International Atomic Energy Agency, Convention on the TI, bea Physical Protection of Nuclear Material. Ditandatangani diulangi Vienna dan New York tanggal 3 Maret 1980. Disetujui di Vienna tanggal 26 Oktober 1979 dan mulai berlaku tanggal 8 Februari 1987.
(g) International Civil Aviation Organization, Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation. Tambahan untuk Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 24 Februari 1988 dan mulai berlaku tanggal6 Agustus 1989.
(h) International Maritime Organization, Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.
(i) International Maritime Organization, Protocol for the Supangani pression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platanggal forms Located on the Continental Shelf. Diterima di
Romatanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.
(j) International Civil Aviation Organization, Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Puspose of Detection. Dibuat di Montreal tanggal 1 Maret 1991 dan mulai berlaku tanggal 21 Juni 1998.
(k) United Nations, International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing.
Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 52/164 tanggal 15 Desember 1997 dan
mulai berlaku tangga1 23 Mei 2001.
(l) United Nations, International Convention on the
Suppression of Financing of Terrorism. Diterima oleh Majelis Umum dengan resoiusi 54/109 tanggal 9 Desember 1999 dan mulai berlaku tanggal 10 April 2002.
(m) Council of Europe, European Convention on the Suppression of Terrorism. Mulai ditandatangani di Strasbourg Perancis tanggal 27 Januari 1977 dan mulai berlaku tanggal 4 Agustus 1978.
(n) Organization of American States, Convention to Prevent and Punish the Acts of Terrorism Taking the Form of Crimes against Persons and Related Extortion that are
of Internationa l Significance. Ditandatangani di Washington tanggal 2 Februari 1971 dan mulai berlaku 16 Oktober 1973.
Berbagai konvensi di atas terutama mengatur tentang jenis jenis tindak pidana terror dan upaya pemberantasan terorisme dengan berbagai macam kerjasama internasional. Beberapa tindak pidana yang dimasukkan dalam kategori tindak pidana teror terutama tindak pidana terhadap pesawat terbang, maritim, dan tindak pidana terhadap orang-orang tertentu (diplomat). Indonesia saat ini baru menandatangani (ratifikasi) dua konvensi (tentang penyerangan dan tindakan melawan hukum di pesawat terbang. Berbagai konvensi tersebut memberikan kerangka kerja sama internasional untuk pemberantasan tindak pidana teror.
Di Indonesia ketentuan yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana terorisme pertama kali didasarkan pada Perpu No 1 tahun 2000 ttg Pemberantasan Tindak Pidana terorisme. Dikeluarkannya Perpu No 1 tahun 2000 tersebut diawali dengan adanya peledakan Bom Bali, yang menewaskan beberapa ratus warganegara asing. Akibat adanya peristiwa inilah maka untuk pertama kalinya pemerintah memandang perlu mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme, yang ternyata delik-delik dalam KUHP tidak dapat menjangkau tindakan terorisme sebagai kejahatan internasional. Dalam perkembangan selanjutnya Perpu No 1 Tahun 2000 ini kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Siswanto, 2007).
Selain itu, dalam upaya menanggulangi tindak pidana terorisme yang bersifat internasional (international terrorism), perumusan tindak pidana yang bersifat nasional baik yang diatur dalam KUHP maupun yang diluar KUHP belum memadai mengingat elemen kejahatan yang bersifat spesifik dan tak tertampungnya pelbagai aspirasi yang berkembang baik secara regional maupun internasional, dalam rangka harmonisasi hukum. Elemen yang bersifat spesifik antara lain adalah timbulnya suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas. Dalam delik formil, hal ini dirumuskan sebagai "dolus specialis" (Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2003). Pengaturan yang memuat kebijakan criminal (criminal policy) yang bersifat luas baik preventif maupun represif serta beberapa cara yang bersifat khusus (seperti prosedur "hearing", peradilan in absentia, diakuinya alat bukti elektronik dan sebagainya), tanpa menyampingkan perlindungan HAM (pengaturan perlindungan saksi, pelapor, korban kejahatan, system "hearing " dan lain-lain).





BAB 3
PENUTUP


Dalam pandangan realis, aksi teror yang terjadi di Indonesia ini bukan hanya semata-mata karena keinginan teroris untuk membawa bencana kemanusiaan. Tetapi di balik aksinya teroris ingin mengkomunikasikan apa yang selama ini menyebabkan kelompok ini melakukan teroris. Dalam kenyataannya, aksi teror selalu dipicu karena salah satu kelompok merasa dirugikan dengan tatanan dunia internasional yang tidak menyentuh kehidupan dan kesejahteraan mereka. Dengan kata lain, negara dan dunia internasional sendiri bertanggungjawab atas timbulnya kelompok ini. Negara secara tidak langsung telah melanggar hak asasi mereka terlebih dahulu sebelum mereka berusaha untuk melanggar HAM dengan melakukan aksi teror.
Selain itu, Pencegahan aksi terorisme tidak bisa dilakukan hanya melalui pendekatan hukum saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan masyarakat. Seperti yang telah disebutkan bahwa setidaknya motivasi utama tindakan teror adalah perasaan diperlakukan secara tidak adil, ketertindasan, dan kepercayaan tertentu. Pencegahan tindak pidana teror harus merupakan kebijakan yang mengeliminasi akar motivasi tersebut, yaitu mewujudkan keadilan, pembebasan dari kemiskinan dan keterbukaan diskursus religius. Meskipun negara-negara di dunia menyatakan diri perang melawan terorisme, tetapi terorisme tetap hidup dan ancamannya semakin menakutkan jika akar permasalahnnya tidak diselesaikan.










Daftar Pustaka

Buku
Kahfi, Syahdatul. Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi. Spectrum. Jakarta : 2006.

Leifer, Michael. Politik Luar Negeri Indonesia. Gramedia. Jakarta: 1989.
Perwita, AAB & Yani, YM. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung : 2005.

Website
T. P. Thornton, “Terror as a Weapon of Political Agitation’ in Harry Eckstein (ed.)”, dalam Internal War: Problem and Approaches, Free Press, New York: 1964
(dalam bentuk .pdf) diunduh pada tanggal 4 Juni 2014 pukul 13.55 WIB

Sunarto.2007. Kriminalisasi dalam Tindak Pidana Terorisme. Jurnal Equallity Vol 12
Diakses pada 5 Juni 2014 pukul 15.20 WIB

Thesis M. Mubarok. 2011. Stigmatisasi Pemberitaan Terorisme di Indonesia diunduh dari www.eprints.undip.ac.id
Diakses pada tanggal 6 Juni 2014 pukul 22.13 WIB

Loudewijk Paulus“Terorisme”, http://buletinlitbang.dephan.go.id
Diakses pada tanggal 6 Juni 2014 pukul 23.38 WIB







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Maritime Irony

Pupujian dalam tradisi Sunda