Jurnal dalam mata kuliah Bahasa Indonesia Akademik
Lorong Gedung VI Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya
Opa Sari
Mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia
Email: opasr15@gmail.com
I.
Pendahuluan
Manusia
sebagai makhluk sentral yang memiliki kemampuan lebih dalam mengatur tatanan
kehidupan harus mampu menjaga keselarasan dengan lingkungan hidupnya. Oleh
sebab itu, manusia harus memiliki pemahaman dan kesadaran mendalam mengenai
kedudukannya sebagai pihak pengambil keputusan dan inisiatif. Keputusan untuk
tetap menjaga keselarasan dan inisiatif untuk membuat suatu tindakan
pengembangan lingkungan hidup untuk jangka panjang. Pemahaman
ini dapat diperoleh dari proses manusia melakukan interaksi dengan
lingkungannya secara baik. Jika manusia peka terhadap lingkungan hidupnya maka
manusia akan terhindar dari sifat egois. Sifat ini biasanya menghalangi manusia
untuk mau memahami lingkungannya. Kendati manusia memiliki kelebihan untuk
memilih berperilaku baik terhadap lingkungannya, manusia juga selalu dihadapkan
kepada pilihan lainnya dalam menentukan tindakannya.
Memang
dalam kenyataannya, pola perilaku sebagian manusia senantiasa
mengutamakan kebutuhannya untuk berkegiatan. Kegiatan yang dilakukan manusia seringkali
menyisakan hal yang merusak lingkungan yang seharusnya dapat dihindari. Sesuai
dengan pernyataan Soemarwoto (2004:84) bahwa “manusia pada dasarnya memiliki
sifat egois, dalam arti kata selalu mengutamakan kepentingannya di atas
kepentingan yang lain”. Sifat yang demikian seringkali memicu kesadaran yang
rendah pada sebagian individu terhadap kelestarian dan nilai estetika terhadap
lingkungan sekitar. Contoh yang dapat kita lihat adalah kelestarian lingkungan
di lorong gedung VI Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang
ternodai oleh perilaku mahasiswanya. Lingkungan gedung VI yang senantiasa
bersih, seharusnya mampu mendidik orang untuk berperilaku bersih.
Jika
sebagian mahasiswa FIB UI tidak mampu untuk mencerminkan perilaku bersih, maka
terdapat kesalahan pada diri mereka dalam mengelola pola perilakunya. Seperti
yang dikemukakan oleh Dwidjoseputro (1994:1) bahwa “orang mengenal
lingkungannya karena mendayagunakan pancaindera. Pengenalan itu menjadi
pengetahuan. Pengetahuan yang dikumpulkan menurut suatu aturan tertentu menjadi
kekayaan yang disebut ilmu. Ilmu akan terus bertambah dan dikembangkan oleh
para penuntut ilmu”. Jika kita mampu untuk memahami lingkungan kita yang sudah
bersih dan tidak merusaknya, maka kita telah berhasil mengembangkan dan mempergunakan
ilmu tersebut dengan baik.
Pada perkembangannya,
perilaku manusia terhadap lingkungannya memang semakin beragam. Seakan manusia
terbagi menjadi dua golongan, di sisi lain terdapat golongan yang mengajak
untuk menjaga lingkungannya. Golongan yang lain menginginkan kebebasan, biarlah
dalam hal menjaga lingkungan itu menjadi keputusan diri sendiri. Golongan yang
seperti ini biasanya mengandalkan kesadaran diri dari masing-masing individu.
Namun jika kembali lagi kepada hakekatnya, dengan kita menjaga kelestarian
lingkungan, manfaatnya akan dirasakan juga oleh manusia. Manusia akan menjadi
lebih nyaman, tentunya jika lingkungan bersih dan terjaga maka manusia akan
berpikir berulang kali untuk mengotorinya. Manusia yang lain juga akan berpikir
lagi jika ingin menyulut rokok, membuang sampah sembarangan.
Melalui pemahaman
tersebut, penulis ingin memaparkan analisis mengenai aktivitas manusia dalam
hal ini adalah mahasiswa FIB UI, suatu Universitas terkemuka di Indonesia yang
dikenal karena mampu melahirkan kaum yang disebut sebagai kaum intelektual,
sebagai individu-individu yang memiliki kelebihan dalam mengatur pola
kehidupannya. Namun Apakah anggapan ini sesuai dengan pola pikir dan tingkah
laku mahasiswa dalam aktivitas kesehariannya di lingkungan kampus? tentunya hal
ini memerlukan analisis lebih lanjut dan akan dikemukakan hasilnya dalam
penulisan ini.
II.
Pola Perilaku Mahasiswa
Seperti yang sudah penulis paparkan dalam pendahuluan di atas,
bagaimana seharusnya manusia yang berkedudukan sebagai sentral untuk
berperilaku guna menjaga keselarasan dengan lingkungan hidupnya. Dalam
kenyataannya, pola perilaku yang ditunjukkan sebagian mahasiswa FIB UI
bertentangan dengan hakikatnya sebagai pusat pengambil keputusan dan inisiatif.
Salah satu permasalahan yang menunjukkan pertentangan ini adalah sikap para
mahasiswa FIB UI yang menggunakan lorong gedung VI sebagai tempat alternatif makan
siang, kegiatan organisasi, dan mengisi waktu untuk menunggu kelas selanjutnya
dengan aktivitas santai seperti bermain kartu.
Permasalahan mendasar terkait ramainya lorong gedung VI
saat makan siang yaitu, luas kantin Sastra (Kansas) yang tidak cukup untuk menampung
mahasiswa FIB. Hal ini membuat sebagian mahasiswa FIB UI ini mencari tempat
alternatif untuk makan siang. Banyak pilihan seperti di depan gedung V, di
Payung gedung I, bahkan di tempat ibadah yang beralih fungsi menjadi tempat
makan siang mahasiswa FIB. Namun konsentrasi penulis hanya pada lorong gedung
VI. Penulis memilih lorong gedung VI sebagai konsentrasi penelitian karena
lorong ini terkenal sangat ramai saat jam kosong.
Lorong ini juga seringkali medapat komentar-komentar
terkait masalah ketertiban dan kebersihannya. Banyak dosen dan mahasiswa yang
peduli akan lingkungan melontarkan protes kepada mahasiswa yang makan siang di
sepanjang lorong. Menurut mereka, selain mengganggu juga tidak sedap dipandang
mata. Tentunya ini menjadi perhatian bagi mereka yang peduli pada lingkungan
dan kenyamanan.
Perhatian tertuju pada perilaku para mahasiswa tersebut
seusai melakukan aktivitas di lorong gedung VI. Sebagian dari mereka seringkali
meninggalkan sisa sterofom bahkan gelas plastik di lorong tersebut seusai makan
siang. Dengan berbagai alasan seperti lupa, atau melakukan pembiaran karena
merasa sudah ada petugas yang bertanggungjawab untuk membersihkannya. Pemahaman
yang kurang pada mahasiswa mengenai hakekatnya sebagai manusia melahirkan
permasalahan dalam pola perilakunya. Terlebih lagi mahasiswa asing juga
mempergunakan gedung VI ini. Tentunya akan menimbulkan stigma negatif bagi
manusia Indonesia khususnya mahasiswa FIB itu sendiri.
Keluhan datang tidak hanya dari dosen yang melintas di
sepanjang lorong gedung VI, keluhan ini dirasakan pula oleh pengurus lantai
satu gedung VI yang bernama Via. Office Girl
ini merasa tidak adanya wujud kerjasama antara mahasiswa dan lingkungannya.
Penulis menjadikan Via sebagai narasumber dalam wawancara ini. Via mengatakan
bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh mahasiswa tidak mencerminkan kedudukannya
sebagai manusia yang terpelajar. Sebagian mahasiswa justru mengabaikan
kebersihan lingkungannya. Mahasiswa tidak merasa risih jika lingkungannya
kotor, sehingga mereka terkesan melakukan pembiaran.
Via juga menyampaikan bahwa aktivitas mahasiswa yang
sering berkumpul di sepanjang lorong mengganggu aktivitas perkuliahan. Seringkali
mahasiswa mengobrol dan tertawa sangat keras sehingga menghasilkan situasi yang
bising dan gaduh. Belum lagi masalah pemilihan tempat mereka berkumpul. Selain
di sepanjang lorong, mereka juga sering berkumpul di depan tangga. Hal ini
tentunya menghalangi orang lain yang akan naik atau turun dari lantai dua. Via
dibantu oleh pak Kirno selaku petugas gedung VI sering menegur, karena tidak
ada kesadaran dari diri mahasiswa tersebut.
Kemudian mahasiswa juga
mempergunakan lorong gedung VI ini untuk kegiatan organisasinya. Dalam satu
waktu, penulis mendapati para mahasiswa duduk di sepanjang gedung VI secara
berkelompok, jumlahnya sangat banyak
dan memenuhi lorong gedung VI. Para mahasiswa ini sedang mendesain suatu
pamflet, sterofom kotak, dan menyusun daftar untuk suatu kegiatan yang akan
mereka laksanakan. Mereka menggunting bahan-bahan dan menyisakan sampah-sampah
kecil di lorong gedung VI ini. Belum lagi suara bising yang mereka hasilkan
mengganggu proses belajar mengajar di kelas.
Meskipun
hal ini biasa mereka lakukan di hari jum’at, dimana tidak semua kelas melakukan
kegiatan belajar. Tetapi setidaknya kegiatan para mahasiswa ini mengganggu
kegiatan lainnya di gedung VI. Posisi
mereka juga beragam, ada yang mengerjakan kegiatan itu dengan bersandar di
tembok, tiduran di lantai dan sangat tidak beraturan. Posisi para mahasiswa ini yang tidak
teratur menumpuk di lorong gedung VI juga mengganggu aktivitas mahasiswa lain
yang ingin berjalan menuju kelas atau toilet.
Toilet
pun tidak luput dari kerumunan mahasiswa ini, mereka duduk bersandar di depan
pintu masuk toilet lantai satu karena sudah tidak mendapat tempat di sepanjang
lorong tersebut. Alasan yang mereka lontarkan mengapa memilih gedung VI sebagai
tempat alternatif kegiatan karena lorong ini merupakan tempat yang nyaman
selain karena suasananya yang sejuk. Gedung VI juga memiliki lorong yang luas
sehingga dapat dijadikan tempat untuk sekedar berkumpul atau berkegiatan.
Pada saat jeda waktu untuk kelas selanjutnya, mahasiswa
juga menggunakan lorong ini untuk menunggu sembari berkumpul. Tak jarang
mahasiswa bermain kartu untuk mengisi waktu luang. Adapula yang merokok di
lorong padahal jelas jika di lingkungan kampus tidak boleh merokok. Mahasiswa
yang bermain kartu juga menciptakan kegaduhan, karena bermain dengan suara yang
bising. Untuk masalah merokok, petugas juga merasa risih karena takut ditegur
oleh dosen atau petinggi-petinggi yang masuk ke gedung VI. Merokok di gedung VI
ini dilakukan tidak hanya oleh mahasiswa FIB UI, tetapi mahasiswa asing pun
merokok tetapi dilakukan di depan gedung VI bukan di lorongnya.
Apa yang terjadi di lorong gedung VI ini mungkin hanya
sebagian kecil dari perilaku menyimpang yang dilakukan oleh mahasiswanya.
Padahal sebagai manusia kita memiliki etika yang meliputi aturan hidup bersama,
sopan santun, norma, nilai, moral. Etika ini ada untuk mengatur hubungan
harmonis antar manusia maupun dengan lingkungannya. Jika manusia sudah
menerapkan etika ini akan terjadi kesalarasan terhadap sesama dan lingkungan.
Namun, sebaliknya jika yang terjadi adalah pengabaian, maka ketidakharmonisan
akan dirasakan.
Lorong gedung VI memang memiliki letak yang strategis
untuk berbagai aktivitas, mungkin kerusakan bisa dicegah. Petugas sudah
berinisiatif untuk memberi tanda peringatan. Tanda ini berupa kerta yang
bertuliskan “dilarang membuang sampah sembarang”, “dilarang berisik”,
peringatan ini ditempel di sepanjang lorong. Mungkin dengan adanya peringatan
seperti ini akan menyadarkan para mahasiswa yang melakukan penyimpangan. Bisa
juga dari diri kita sendiri untuk saling mengingatkan untuk mengembalikan
fungsi awal lorong gedung VI ini sebagai tempat untuk orang berlalu lalang.
Bukan sebagai tempat berkumpul, membuat kegaduhan. Lorong gedung VI ini juga
akan lebih bermanfaat jika digunakan sebagai tempat membaca buku, daripada
untuk bersantai duduk di sepanjang lorong dengan tidak teratur.
Permasalahannya sekarang tanda yang sudah ada tersebut
seperti diabaikan dan tidak mampu merubah pola perilaku mahasiswa. Dengan
sosialisasi mungkin akan lebih menghasilkan dan merubah pola pikiran dan
perilaku mahasiswa agar senantiasa menjaga etika dan nilai estetika.
Sosialisasi mengenai hakekat kita sebagai manusia yang seharusnya bertanggung
jawab terhadap lingkungan. Kita harus sama-sama menyadari bahwa apayang terjadi
di lorong gedung VI ini adalah contoh kecil penyimpangan diri terhadap
lingkungan. Kita memperlakukan lingkungan seakan kita tidak membutuhkan.
Mungkin dampaknya tidak akan langsung dirasakan saat ini.
Mungkin saat kita berada di lingkup yang lebih besar, di
lingkungan kantor dimana pun kita berada harus menghargai lingkungan.
Lingkungan yang terjaga menghasilkan manusia-manusia yang kreatif. Tetapi hal ini
terkadang tidak berlaku bagi seniman. Terkadang sebagian seniman justru mendapatkan
inspirasi di ruangan yang tidak beraturan. Namun, bagi kita yang saat ini
mendapat label sebagai kaum intelektual harus menunjukkan hal tersebut lewat
perilaku tertib dan bersih.
III.
Kesimpulan
Keberadaan manusia seharusnya berfungsi untuk menjaga
lingkungannya, sebagai makhluk yang diberikan kelebihan oleh Tuhan dibanding
dengan makhluk hidup lain. Kasus pola perilaku mahasiswa terhadap lingkungan
khususnya di lorong gedung VI merupakan contoh bagaimana manusia yang terdidik
belum tentu sadar akan kelestarian lingkungan. Dengan bersembunyi dibalik kata
“budaya” mereka dengan sengaja melakukan pembiaran sampah-sampah tersebut.
Seharusnya mereka yang berbudaya adalah mereka yang mengerti bahwa lingkungan
adalah sahabat. Tempat yang seharusnya dilestarikan dan menjadi tanggung jawab
bersama. Dibalik rasa tanggung jawab kita tersebut, kita juga harus terus tak
henti mengingatkan sesamanya untuk ikut menjaga.
Mulai dari kesadaran diri sendiri untuk membuang sampah
pada tmepatnya sekecil apapun. Demi keindahan lingkungan khususnya lorong
gedung VI fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Bukti yang sudah dipaparkan
mengenai keadaan lorong gedung VI menjadi pertimbangan tentunya untuk kebijakan
yang akan diterapkan terhadap lorong gedung VI. Harapan selanjutnya tentunya
perubahan mengenai pola perilaku mahasiswa itu sendiri. Kerjasama antara
pengurus gedung VI dengan mahasiswa juga harus senantiasa terjalin demi
terwujudnya lorong yang tertib dan bersih. Peraturan-peraturan tertulis yang
ditempel di dinding lorong gedung VI juga tidak akan berarti tanpa sosialisai.
Ini menjadi tanggung jawab bersama bagaimana kebijakan terhadap gedung VI dapat
terlaksana dengan baik.
Mahasiswa sebagai agen perubahan harus menunjukkan
kontribusinya, tidak hanya di bidang pendidikan, politik namun juga dalam
bidang kelestarian lingkungan. Mahasiswa yang menjadi sorotan dalam penulisan
ini adalah mereka yang belum mengerti bagaimana memperlakukan lingkungan.
Penulis tidak bisa menyalahkan mahasiswa tersebut juga. Setiap ilmu yang
diserap oleh manusia pasti berbeda-beda. Mungkin apa yang ada dalam benak
mahasiswa yang melakukan pelanggaran adalah rasa kebebasan akan mengekspresikan
diri. Namun yang perlu diingat, bahwa jangan sampai kebebasan kita mengganggu
kebebasan orang lain.
Sumber Buku :
Dwidjoseputro. Ekologi : Manusia dan Lingkungannya.
Jakarta. Penerbit Erlangga : 1994
Otto,
Soemarwoto. Atur Diri Sendiri : Paradigma
Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press
: 2004
Suprihadi, Sastrosupeno. Manusia, Alam dan Lingkungan. Jakarta. Proyek
Penulisan
dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan : 1984
Komentar
Posting Komentar