Jurnal dalam mata kuliah Bahasa Indonesia Akademik



Lorong Gedung VI Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Opa Sari
Mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
 Universitas Indonesia

I.                   Pendahuluan
            Manusia sebagai makhluk sentral yang memiliki kemampuan lebih dalam mengatur tatanan kehidupan harus mampu menjaga keselarasan dengan lingkungan hidupnya. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki pemahaman dan kesadaran mendalam mengenai kedudukannya sebagai pihak pengambil keputusan dan inisiatif. Keputusan untuk tetap menjaga keselarasan dan inisiatif untuk membuat suatu tindakan pengembangan lingkungan hidup untuk jangka panjang. Pemahaman ini dapat diperoleh dari proses manusia melakukan interaksi dengan lingkungannya secara baik. Jika manusia peka terhadap lingkungan hidupnya maka manusia akan terhindar dari sifat egois. Sifat ini biasanya menghalangi manusia untuk mau memahami lingkungannya. Kendati manusia memiliki kelebihan untuk memilih berperilaku baik terhadap lingkungannya, manusia juga selalu dihadapkan kepada pilihan lainnya dalam menentukan tindakannya.
Memang dalam kenyataannya, pola perilaku sebagian manusia senantiasa mengutamakan kebutuhannya untuk berkegiatan. Kegiatan yang dilakukan manusia seringkali menyisakan hal yang merusak lingkungan yang seharusnya dapat dihindari. Sesuai dengan pernyataan Soemarwoto (2004:84) bahwa “manusia pada dasarnya memiliki sifat egois, dalam arti kata selalu mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan yang lain”. Sifat yang demikian seringkali memicu kesadaran yang rendah pada sebagian individu terhadap kelestarian dan nilai estetika terhadap lingkungan sekitar. Contoh yang dapat kita lihat adalah kelestarian lingkungan di lorong gedung VI Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang ternodai oleh perilaku mahasiswanya. Lingkungan gedung VI yang senantiasa bersih, seharusnya mampu mendidik orang untuk berperilaku bersih.
Jika sebagian mahasiswa FIB UI tidak mampu untuk mencerminkan perilaku bersih, maka terdapat kesalahan pada diri mereka dalam mengelola pola perilakunya. Seperti yang dikemukakan oleh Dwidjoseputro (1994:1) bahwa “orang mengenal lingkungannya karena mendayagunakan pancaindera. Pengenalan itu menjadi pengetahuan. Pengetahuan yang dikumpulkan menurut suatu aturan tertentu menjadi kekayaan yang disebut ilmu. Ilmu akan terus bertambah dan dikembangkan oleh para penuntut ilmu”. Jika kita mampu untuk memahami lingkungan kita yang sudah bersih dan tidak merusaknya, maka kita telah berhasil mengembangkan dan mempergunakan ilmu tersebut dengan baik.
Pada perkembangannya, perilaku manusia terhadap lingkungannya memang semakin beragam. Seakan manusia terbagi menjadi dua golongan, di sisi lain terdapat golongan yang mengajak untuk menjaga lingkungannya. Golongan yang lain menginginkan kebebasan, biarlah dalam hal menjaga lingkungan itu menjadi keputusan diri sendiri. Golongan yang seperti ini biasanya mengandalkan kesadaran diri dari masing-masing individu. Namun jika kembali lagi kepada hakekatnya, dengan kita menjaga kelestarian lingkungan, manfaatnya akan dirasakan juga oleh manusia. Manusia akan menjadi lebih nyaman, tentunya jika lingkungan bersih dan terjaga maka manusia akan berpikir berulang kali untuk mengotorinya. Manusia yang lain juga akan berpikir lagi jika ingin menyulut rokok, membuang sampah sembarangan.
Melalui pemahaman tersebut, penulis ingin memaparkan analisis mengenai aktivitas manusia dalam hal ini adalah mahasiswa FIB UI, suatu Universitas terkemuka di Indonesia yang dikenal karena mampu melahirkan kaum yang disebut sebagai kaum intelektual, sebagai individu-individu yang memiliki kelebihan dalam mengatur pola kehidupannya. Namun Apakah anggapan ini sesuai dengan pola pikir dan tingkah laku mahasiswa dalam aktivitas kesehariannya di lingkungan kampus? tentunya hal ini memerlukan analisis lebih lanjut dan akan dikemukakan hasilnya dalam penulisan ini.
II.                Pola Perilaku Mahasiswa
            Seperti yang sudah penulis paparkan dalam pendahuluan di atas, bagaimana seharusnya manusia yang berkedudukan sebagai sentral untuk berperilaku guna menjaga keselarasan dengan lingkungan hidupnya. Dalam kenyataannya, pola perilaku yang ditunjukkan sebagian mahasiswa FIB UI bertentangan dengan hakikatnya sebagai pusat pengambil keputusan dan inisiatif. Salah satu permasalahan yang menunjukkan pertentangan ini adalah sikap para mahasiswa FIB UI yang menggunakan lorong gedung VI sebagai tempat alternatif makan siang, kegiatan organisasi, dan mengisi waktu untuk menunggu kelas selanjutnya dengan aktivitas santai seperti bermain kartu.
            Permasalahan mendasar terkait ramainya lorong gedung VI saat makan siang yaitu, luas kantin Sastra (Kansas) yang tidak cukup untuk menampung mahasiswa FIB. Hal ini membuat sebagian mahasiswa FIB UI ini mencari tempat alternatif untuk makan siang. Banyak pilihan seperti di depan gedung V, di Payung gedung I, bahkan di tempat ibadah yang beralih fungsi menjadi tempat makan siang mahasiswa FIB. Namun konsentrasi penulis hanya pada lorong gedung VI. Penulis memilih lorong gedung VI sebagai konsentrasi penelitian karena lorong ini terkenal sangat ramai saat jam kosong.
            Lorong ini juga seringkali medapat komentar-komentar terkait masalah ketertiban dan kebersihannya. Banyak dosen dan mahasiswa yang peduli akan lingkungan melontarkan protes kepada mahasiswa yang makan siang di sepanjang lorong. Menurut mereka, selain mengganggu juga tidak sedap dipandang mata. Tentunya ini menjadi perhatian bagi mereka yang peduli pada lingkungan dan kenyamanan.
            Perhatian tertuju pada perilaku para mahasiswa tersebut seusai melakukan aktivitas di lorong gedung VI. Sebagian dari mereka seringkali meninggalkan sisa sterofom bahkan gelas plastik di lorong tersebut seusai makan siang. Dengan berbagai alasan seperti lupa, atau melakukan pembiaran karena merasa sudah ada petugas yang bertanggungjawab untuk membersihkannya. Pemahaman yang kurang pada mahasiswa mengenai hakekatnya sebagai manusia melahirkan permasalahan dalam pola perilakunya. Terlebih lagi mahasiswa asing juga mempergunakan gedung VI ini. Tentunya akan menimbulkan stigma negatif bagi manusia Indonesia khususnya mahasiswa FIB itu sendiri.
            Keluhan datang tidak hanya dari dosen yang melintas di sepanjang lorong gedung VI, keluhan ini dirasakan pula oleh pengurus lantai satu gedung VI yang bernama Via. Office Girl ini merasa tidak adanya wujud kerjasama antara mahasiswa dan lingkungannya. Penulis menjadikan Via sebagai narasumber dalam wawancara ini. Via mengatakan bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh mahasiswa tidak mencerminkan kedudukannya sebagai manusia yang terpelajar. Sebagian mahasiswa justru mengabaikan kebersihan lingkungannya. Mahasiswa tidak merasa risih jika lingkungannya kotor, sehingga mereka terkesan melakukan pembiaran.
            Via juga menyampaikan bahwa aktivitas mahasiswa yang sering berkumpul di sepanjang lorong mengganggu aktivitas perkuliahan. Seringkali mahasiswa mengobrol dan tertawa sangat keras sehingga menghasilkan situasi yang bising dan gaduh. Belum lagi masalah pemilihan tempat mereka berkumpul. Selain di sepanjang lorong, mereka juga sering berkumpul di depan tangga. Hal ini tentunya menghalangi orang lain yang akan naik atau turun dari lantai dua. Via dibantu oleh pak Kirno selaku petugas gedung VI sering menegur, karena tidak ada kesadaran dari diri mahasiswa tersebut.
            Kemudian mahasiswa juga mempergunakan lorong gedung VI ini untuk kegiatan organisasinya. Dalam satu waktu, penulis mendapati para mahasiswa duduk di sepanjang gedung VI secara berkelompok, jumlahnya sangat banyak dan memenuhi lorong gedung VI. Para mahasiswa ini sedang mendesain suatu pamflet, sterofom kotak, dan menyusun daftar untuk suatu kegiatan yang akan mereka laksanakan. Mereka menggunting bahan-bahan dan menyisakan sampah-sampah kecil di lorong gedung VI ini. Belum lagi suara bising yang mereka hasilkan mengganggu proses belajar mengajar di kelas.
            Meskipun hal ini biasa mereka lakukan di hari jum’at, dimana tidak semua kelas melakukan kegiatan belajar. Tetapi setidaknya kegiatan para mahasiswa ini mengganggu kegiatan lainnya di gedung VI. Posisi mereka juga beragam, ada yang mengerjakan kegiatan itu dengan bersandar di tembok, tiduran di lantai dan sangat tidak beraturan. Posisi para mahasiswa ini yang tidak teratur menumpuk di lorong gedung VI juga mengganggu aktivitas mahasiswa lain yang ingin berjalan menuju kelas atau toilet.
            Toilet pun tidak luput dari kerumunan mahasiswa ini, mereka duduk bersandar di depan pintu masuk toilet lantai satu karena sudah tidak mendapat tempat di sepanjang lorong tersebut. Alasan yang mereka lontarkan mengapa memilih gedung VI sebagai tempat alternatif kegiatan karena lorong ini merupakan tempat yang nyaman selain karena suasananya yang sejuk. Gedung VI juga memiliki lorong yang luas sehingga dapat dijadikan tempat untuk sekedar berkumpul atau berkegiatan.
            Pada saat jeda waktu untuk kelas selanjutnya, mahasiswa juga menggunakan lorong ini untuk menunggu sembari berkumpul. Tak jarang mahasiswa bermain kartu untuk mengisi waktu luang. Adapula yang merokok di lorong padahal jelas jika di lingkungan kampus tidak boleh merokok. Mahasiswa yang bermain kartu juga menciptakan kegaduhan, karena bermain dengan suara yang bising. Untuk masalah merokok, petugas juga merasa risih karena takut ditegur oleh dosen atau petinggi-petinggi yang masuk ke gedung VI. Merokok di gedung VI ini dilakukan tidak hanya oleh mahasiswa FIB UI, tetapi mahasiswa asing pun merokok tetapi dilakukan di depan gedung VI bukan di lorongnya.
            Apa yang terjadi di lorong gedung VI ini mungkin hanya sebagian kecil dari perilaku menyimpang yang dilakukan oleh mahasiswanya. Padahal sebagai manusia kita memiliki etika yang meliputi aturan hidup bersama, sopan santun, norma, nilai, moral. Etika ini ada untuk mengatur hubungan harmonis antar manusia maupun dengan lingkungannya. Jika manusia sudah menerapkan etika ini akan terjadi kesalarasan terhadap sesama dan lingkungan. Namun, sebaliknya jika yang terjadi adalah pengabaian, maka ketidakharmonisan akan dirasakan.
            Lorong gedung VI memang memiliki letak yang strategis untuk berbagai aktivitas, mungkin kerusakan bisa dicegah. Petugas sudah berinisiatif untuk memberi tanda peringatan. Tanda ini berupa kerta yang bertuliskan “dilarang membuang sampah sembarang”, “dilarang berisik”, peringatan ini ditempel di sepanjang lorong. Mungkin dengan adanya peringatan seperti ini akan menyadarkan para mahasiswa yang melakukan penyimpangan. Bisa juga dari diri kita sendiri untuk saling mengingatkan untuk mengembalikan fungsi awal lorong gedung VI ini sebagai tempat untuk orang berlalu lalang. Bukan sebagai tempat berkumpul, membuat kegaduhan. Lorong gedung VI ini juga akan lebih bermanfaat jika digunakan sebagai tempat membaca buku, daripada untuk bersantai duduk di sepanjang lorong dengan tidak teratur.
            Permasalahannya sekarang tanda yang sudah ada tersebut seperti diabaikan dan tidak mampu merubah pola perilaku mahasiswa. Dengan sosialisasi mungkin akan lebih menghasilkan dan merubah pola pikiran dan perilaku mahasiswa agar senantiasa menjaga etika dan nilai estetika. Sosialisasi mengenai hakekat kita sebagai manusia yang seharusnya bertanggung jawab terhadap lingkungan. Kita harus sama-sama menyadari bahwa apayang terjadi di lorong gedung VI ini adalah contoh kecil penyimpangan diri terhadap lingkungan. Kita memperlakukan lingkungan seakan kita tidak membutuhkan. Mungkin dampaknya tidak akan langsung dirasakan saat ini.
            Mungkin saat kita berada di lingkup yang lebih besar, di lingkungan kantor dimana pun kita berada harus menghargai lingkungan. Lingkungan yang terjaga menghasilkan manusia-manusia yang kreatif. Tetapi hal ini terkadang tidak berlaku bagi seniman. Terkadang sebagian seniman justru mendapatkan inspirasi di ruangan yang tidak beraturan. Namun, bagi kita yang saat ini mendapat label sebagai kaum intelektual harus menunjukkan hal tersebut lewat perilaku tertib dan bersih.
             


III.             Kesimpulan
            Keberadaan manusia seharusnya berfungsi untuk menjaga lingkungannya, sebagai makhluk yang diberikan kelebihan oleh Tuhan dibanding dengan makhluk hidup lain. Kasus pola perilaku mahasiswa terhadap lingkungan khususnya di lorong gedung VI merupakan contoh bagaimana manusia yang terdidik belum tentu sadar akan kelestarian lingkungan. Dengan bersembunyi dibalik kata “budaya” mereka dengan sengaja melakukan pembiaran sampah-sampah tersebut. Seharusnya mereka yang berbudaya adalah mereka yang mengerti bahwa lingkungan adalah sahabat. Tempat yang seharusnya dilestarikan dan menjadi tanggung jawab bersama. Dibalik rasa tanggung jawab kita tersebut, kita juga harus terus tak henti mengingatkan sesamanya untuk ikut menjaga.
            Mulai dari kesadaran diri sendiri untuk membuang sampah pada tmepatnya sekecil apapun. Demi keindahan lingkungan khususnya lorong gedung VI fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Bukti yang sudah dipaparkan mengenai keadaan lorong gedung VI menjadi pertimbangan tentunya untuk kebijakan yang akan diterapkan terhadap lorong gedung VI. Harapan selanjutnya tentunya perubahan mengenai pola perilaku mahasiswa itu sendiri. Kerjasama antara pengurus gedung VI dengan mahasiswa juga harus senantiasa terjalin demi terwujudnya lorong yang tertib dan bersih. Peraturan-peraturan tertulis yang ditempel di dinding lorong gedung VI juga tidak akan berarti tanpa sosialisai. Ini menjadi tanggung jawab bersama bagaimana kebijakan terhadap gedung VI dapat terlaksana dengan baik.
            Mahasiswa sebagai agen perubahan harus menunjukkan kontribusinya, tidak hanya di bidang pendidikan, politik namun juga dalam bidang kelestarian lingkungan. Mahasiswa yang menjadi sorotan dalam penulisan ini adalah mereka yang belum mengerti bagaimana memperlakukan lingkungan. Penulis tidak bisa menyalahkan mahasiswa tersebut juga. Setiap ilmu yang diserap oleh manusia pasti berbeda-beda. Mungkin apa yang ada dalam benak mahasiswa yang melakukan pelanggaran adalah rasa kebebasan akan mengekspresikan diri. Namun yang perlu diingat, bahwa jangan sampai kebebasan kita mengganggu kebebasan orang lain.
Sumber Buku :
Dwidjoseputro. Ekologi : Manusia dan Lingkungannya. Jakarta. Penerbit Erlangga : 1994
Otto, Soemarwoto. Atur Diri Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press : 2004
Suprihadi, Sastrosupeno. Manusia, Alam dan Lingkungan. Jakarta. Proyek    Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : 1984













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Maritime Irony

Terorisme di Indonesia: sebuah analisis

Pupujian dalam tradisi Sunda