Pengantar Filsafat dan Pemikiran Modern



Pokok-pokok Pemikiran Edmund Husserl Mengenai Metode Fenomenologi
Opa Sari
Ilmu Sejarah – FIB UI
          Pada paruh pertama abad ke-20, muncul seorang filsuf yang prihatin dengan situasi dunia intelektual yang menurut anggapannya sangat dikeruhkan oleh macam-macam prasangka baik secara filosofis maupun ilmiah. Edmund Husserl, Bapak pendiri sebuah pendekatan yang sampai saat ini terkenal dengan nama “fenomenologi”, dengan  keprihatinannya itu mencoba mendeskripsikan kenyataan apa adanya. Husserl lahir di Prossnitz tahun 1859, ia adalah filsuf Jerman keturunan Yahudi. Masa mudanya ia banyak belajar mengenai astronomi dan matematika di Leipzig dan Berlin tempat ia memperoleh gelar doktor dalam bidang matematika. Kemudian tahun 1884-1886 ia mengikuti pelajaran Brentano di Wina. Sejak saat itulah minatnya pada filsafat semakin besar. Ia pun menjadi dosen di Halle, Goitengen, dan Freiburg, dimana mahasiswanya adalah Max Scheller dan Martin Heidegger. Pengaruh Brentano pada diri Husserl sangat kuat, hingga ia menulis buku Filsafat Aritmatika tahun 1891 lalu dua jilid buku Penyelidikan logika tahun 1900-1901. Di dalam buku ini ia menunjukkan ide mengenai suatu fenomenologi murni dan sebuah filsafat fenomenologi.
Edmund Hussserl dikenal sebagai filsuf yang menyajikan metode fenomenologis dalam filsafatnya. Fenomenologi (inggris : phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainein berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang fenomen-fenomen yang menampakkan diri kepada kesadaran kita. [1]
Husserl dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan fenomenologi meskipun istilah tersebut telah ada sebelumnya. Istilah tersebut pertama kali dikemukakan oleh J.H. Lambret (1764), ia mencoba menggambarkan pengalaman inderawi (fenomen). Sebelumnya juga istilah tersebut telah diperluas pemaknaannya oleh Immanuel Kant dan Hegel. Tetapi Husserl sendiri sebenarnya belajar pada Brentano. Ia mengambil istilah intensionalitas dari Brentano, yang kemudian menjadi awal mula pembahasan filosofisnya.
Husserl menegaskan bahwa sebuah prinsip: semua kegiatan berdasarkan kesadaran yang bersifat intensional, terarah kepada suatu objek yang secara spesifik atau menyeluruh. Masalah ini menyangkut mengenai pengalaman, pengetahuan, dan pekerjaan yang melibatkan jiwa. Sebenarnya pengalaman dan pengetahuan dasarnya adalah sebuah kegiatan yang berkaitan dengan kejiwaan. Kemudian Husserl mengangkat permasalahan psikologis ini ke dalam sebuah rumusan matematika. Dalam karya pertamanya, Husserl menyatakan bahwa konsep terdalam matematika dan logis mengatasi seluruh definisi logiko-formal. Maksudnya hanya menunjukkan fenomen (psikis konkret). Dengan fenomen-fenomen itu, metode matematika diciptakan. [2] Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi. Ketika kita bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, Maka sebenarnya kita melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang kita rasakan, pikirkan, dan apa yang akan kita lakukan dari sudut pandang pelaku.
Bagi Husserl fenomenologi adalah suatu bentuk ilmu mandiri yang berbeda dari ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Dengan fenomenologi Husserl menantang semua pendekatan yang bersifat biologis-mekanistik tentang kesadaran manusia, seperti pada psikologi positivistik maupun pada neurosains.[3] Perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam termasuk psikologi positivistik, adalah peran sentral makna di dalam pengalaman manusia (meaning in experience). Fenomenologi tidak mengambil langkah observasi ataupun generalisasi di dalam penelitian tentang manusia, seperti yang lazim ditemukan pada psikologi positivistik. Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun intersubyektif dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan antara apa yang subyektif, intersubyektif, dan yang obyektif. Yang subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan intersubyektif adalah pandangan dunia semua orang yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan. Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi.
Melalui pemikiran inilah Husserl bercita-cita mengembangkan fenomenologi sebagai suatu displin ilmiah yang lengkap dengan metode yang jelas dan akurat. Di dalam ilmu-ilmu alam, seperti kimia, fisika, dan biologi, kita mengenal adalah metode penelitian ilmu-ilmu alam yang sifatnya empiris dan eksperimental. Inti metode penelitian ilmu-ilmu alam adalah melakukan observasi yang sifatnya sistematis, dan kemudian menganalisisnya dengan suatu kerangka teori yang telah dikembangkan sebelumnya. Husserl ingin melepaskan diri dari cara berpikir yang melandasi metode penelitian tersebut. Baginya untuk memahami manusia, fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang pelakunya, yakni dari orang yang mengalaminya.
Selain itu, Husserl melihat perlunya sebuah penyaringan untuk mencapai kepastian yang benar-benar murni. Husserl menyebutnya sebagai Zur den Sachen Selbst, kembali pada objek tersebut yang menurut pemikirannya terdapat 3 macam :
1.      Reduksi fenomenologis. Menyaring pengalaman sehingga orang sampai pada fenomen semurni-murninya. Kita harus melepaskan diri dari pandangan lain : agama, adat, dan ilmu pengetahuan. Jika hal ini dapat diterapkan maka kita akan sampai pada fenomen yang sebenarnya.
2.      Reduksi eidetis. Semua yang tidak berkaitan dengan fenomen harus dilepas agar sampai pada hakikat pengertian yang murni.
3.      Reduksi transcendental. Sampai pada subjek murni, tidak ada hubungannya dengan kesadaran.
Jadi, menurut Husserl dunia ini tidak dapat memberikan kepastian, oleh karena itu kita perlu mencarinya melalui pengalaman yang sadar dan nyata. Maka kita dapat menemukan “aku” yang murni. Tanpa terikat dengan yang lainnya. Fenomenologi membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia dan kesadaran bisa ditemukan.

Daftar Pustaka

Sutrisno, Mudji, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Kanisiu, Yogyakarta : 1992.

http://edmund.stanford.edu/entries/phenomenology
Diakses pada tanggal 20 Maret 2014 pkl 22.18

\





\\


[1] Sutrisno, Mudji, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Kanisiu, Yogyakarta : 1992, hlm. 84
[2] Ibid., hlm. 86           
[3] http://edmund.stanford.edu/entries/phenomenology/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Maritime Irony

Terorisme di Indonesia: sebuah analisis

Pupujian dalam tradisi Sunda